Ganti Distro : Dari Ubuntu jadi Manjaro. Pada akhirnya rasa penasaran dan segala macam keluhan pakai Ubuntu selama kurang lebih 8 bulan terbayarkan dengan hadirnya Manjaro di laptop Lenovo ThinkPad X230 Saya.
Bagaimana tidak, Ubuntu yang menggantikan MacOS nya MacBook kantor, sudah gak nyaman lagi buat dipake kerja.
Mulai dari wifi yang ngadat, sampai kinerjanya yang sedikit berat.
Ibarat orang pacaran, hati sudah gak nyaman sehingga terpaksa harus putus di tengah jalan.
Berat sih memang, tetapi sepertinya keputusan untuk ganti distro ini adalah keputusan yang tepat.
Awalnya ragu, tetapi setelah melihat video review di Youtube dan nyobain pakai live cd, kini jadi makin yakin untuk “membunuh” Ubuntu dan menggantinya dengan Manjaro.
Maka jadilah ganti distro dari Ubuntu jadi Manjaro.
Alasan Ganti Distro : Dari Ubuntu Jadi Manjaro
Tentu tidak serta merta langsung ganti dari Ubuntu jadi Manjaro. Ada alasan logis dibaliknya dan itu butuh waktu untuk mengeksekusi nya.
Adapun alasannya ada beberapa dan itu akan Saya bahas di artikel ini.
Manjaro adalah distro populer ke 2 versi Distrowatch tahun 2020.
Berdasarkan data dari Distrowacth, pada tahun 2020 Manjaro menjadi distro paling populer ke-2 di seluruh dunia. Peringkat pertamanya adalah MX Linux. Sedangkan Ubuntu berada di peringkat ke-6.
Di 3 bulan terakhir sebelum Oktober tahun 2021, distro Manjaro menempati peringkat ke-3. Peringkat 1 nya tetap ditempati oleh MX Linux. Posisi keduanya digeser oleh EndeavourOS. Sedangkan Ubuntu tetap menempati peringkat ke 6.
Dari data ini Saya cukup yakin kalau Manjaro bukan distro yang ecek-ecek. Manjaro bisa mengalahkan popularitas Ubuntu yang mana distro itu sudah sangat terkenal di semua kalangan baik di pengguna Linux maupun yang bukan.
Bahkan bagi orang yang gak tahu macam-macam distro Linux, banyak yang mengira kalau Linux itu ya Ubuntu, Ubuntu itu ya Linux.
Manjaro sangat ringan tapi tetap handal
Salah satu yang Saya sukai dari Manjaro adalah performanya sangat ringan tetapi tetap handal. Hal ini dikarenakan Manjaro dikembangkan berbasis Arch Linux. Dimana Arch Linux itu bisa dibilang sebuah distro Linux “kosongan”. Karena kosongan sehingga kita bebas memasukkan apa saja di dalam Linux tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Saat Saya coba install Manjaro dan pertama kali menggunakannya memang sangat terasa sekali perbedaannya. Karena laptop yang Saya gunakan bisa dibilang pas-pasan dan merupakan laptop jadul.
Kalau pakai laptop zaman sekarang mungkin tidak akan terasa perbedaan performa Ubuntu dan Manjaro, karena spesifikasi hardware nya yang tinggi.
Jadi di perangkat jadul atau yang spek nya rendah, pakai Manjaro akan terasa lebih ringan daripada pakai Ubuntu.
Software bawaan nya bagus-bagus dan tidak membebani kinerja perangkat
Ketika pertama kali mengeksplor Manjaro, ada beberapa aplikasi bawaan yang sangat menarik perhatian Saya. Walaupun ini aplikasi standar, tapi bisa dibilang ini beda dengan aplikasi bawaan di distro yang lainnya.
Kalau di Manjaro beberapa aplikasi bawaan yang menarik itu antara lain :
- OnlyOffice
- Layouts
- gThumb
- Web Apps
- Cheese
- Maps
- Dll.
menurut Saya aplikasi-aplikasi tersebut tidak ada di Ubuntu sebagai aplikasi bawaannya.
dari beberapa aplikasi itu yang paling menarik adalah Onlyoffice dan Layouts.
Dengan OnlyOffice Kita bisa menggunakan aplikasi perkantoran seperti word processor, sheet dan presentation dengan legal dan halal. Tampilannya pun sangat mirip dengan aplikasi microsoft word.
Sedangkan di aplikasi Layout, Saya bisa mengatur tata letak desktop. Sebagai contoh Saya menggunakan docker ala MacOS. di Manjaro Saya tinggal klik layout yang tersedia lalu segera tampilannya berubah.
Sedangkan kalau di Ubuntu untuk memindahkan dock dari kiri atau kanan layar ke bawah tengah layar itu sangat susah. Harus pakai terminal untuk bisa mengubah layoutnya.
Install app tidak sesulit di Ubuntu
Untuk menginstall aplikasi di Ubuntu ada aplikasi yang bernama Ubuntu Software Center. Dari pengalaman Saya selama kurang lebih 8 bulan, menggunakan aplikasi ini sangat tidak nyaman. Mulai dari loading yang lama dan berat, aplikasi yang tersedia tidak banyak, dan ketika aplikasinya tidak ada, kita harus menginstalnya lewat terminal, snap store dan aplikasi lainnya yang mana ini justru malah membingungkan user awam seperti Saya.
Belum lagi saat akan menghapus aplikasi. di Ubuntu software center aplikasinya tidak muncul, jadi mau tidak mau hapusnya harus lewat terminal.
Beda cerita dengan Manjaro. Di Manjaro ketika akan menginstall aplikasi sangat mudah sekali. Kita tinggal buka aplikasi yang bernama add/remove software, kemudian cari aplikasi yang tersedia lalu install.
Kalau di daftar aplikasi tidak tersedia, Saya bisa nyari app tersebut di repo yang lain, tetapi masih di dalam satu aplikasi yang sama.
Sangat mudah dan menyenangkan.
Sebagai contoh Saya akan meng install Google Chrome di Manjaro. Defaultnya yang bisa diinstal di Manjaro adalah chromium. Ketika kita download masternya Google Chrome pun juga tidak akan bisa diinstall, karena ekstensinya adalah .deb. Sedangkan ekstensi .deb tidak bisa diinstall di Manjaro.
Maka solusinya adalah dengan menggunakan Arch User Repository (AUR). AUR ini adalah repository yang dikembangkan oleh para pengguna Arch Linux yang bertujuan untuk melengkapi dan menyediakan aplikasi yang tidak disediakan repository utama Arch Linux.
Itulah beberapa alasan kenapa Saya ganti distro dari Ubuntu ke Manjaro. Mudah-mudahan apa yang Saya ceritakan ini bisa memberikanmu sudut pandang baru tentang Manjaro. dan bisa memantapkan pilihan untuk pindah ke Manjaro. Semoga bermanfaat dan sampai bertemu di artikel berikutnya.